Secara tersurat pesan untuk menghormati sosok ibu itulah yang disampaikan dongeng ini. Betapa tingginya nilai seorang Ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkan tanpa pamrih. Kita juga diingatkan betapa tajamnya kata-kata seorang Ibu, apalagi dalam keadaan tersakiti. Dalam cerita itu, kekuasaan Malin Kundang yang kaya raya pun tidak mampu menahan kutukan ibunya. Surga berada di telapak kaki ibu. Itu pula yang sering kita dengar pentingnya sosok Ibu bagi kita, anaknya.

Namun bila dipelajari lebih dalam, ternyata makna yang tersirat sungguh dalam. Kata ’ibu’ memiliki nilai yang tinggi dalam bahasa indonesia, hingga ada kata ibu jari, ibu pertiwi, ibu kota dll. SIAPA itu ’Ibu’? Ibu adalah yang melahirkan kita, anaknya. Lalu APA itu ’Ibu?’ Ibu adalah melahirkan kita, produknya.

Mari kita lihat dari konteks nasionalisme saja, mumpung kebangkitan nasional masih hangat. Kita dilahirkan dari Ibu pertiwi. Kita bergelar putra-putri Ibu Pertiwi. Ditanah inilah kita dikandung, dilahirkan dan dibesarkan. Ibu pertiwi menyediakan kita makanan dengan sawah, lembah dan gunung-gunung. Ibu pertiwi membesarkan kita dengan kehangatan iklim tropis dan menidurkan kita dengan dongeng-dongeng indah tentang nenek moyang kita yang seorang pelaut. Dan Ibu pertiwi mengajari kita untuk berbicara dengan bahasa Indonesia, mengajari kita untuk tetap semangat seperti para pahlawan pendahulu kita yang gagah berani. Kita mencintai Ibu Pertiwi ini sebagaimana Malin Kudang mencintai Ibunya.

Lalu kita tumbuh dewasa. Seperti Malin Kundang yang pergi berlayar untuk melihat dunia, kita pun berselancar di dunia internet dan melihat dunia. Kita membaca dari buku dan terbang melewati lautan menuju tanah orang. Lalu kita melihat Venessia yang eksotik, Paris yang anggun dan Hollywood yang semarak. Tiba-tiba kita jatuh cinta pada kemewahan ini. Kita menceburkan diri dalam dunia baru kita yang penuh dengan gelora cita-cita. Namun pada suatu hari, seperti halnya Malin Kundang, kita pun rindu pada kampung halaman. Kita rindu pada ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Kita pun menengok kembali ke asal kita, sebuah negeri yang bernama Indonesia. Namun yang kita temui ternyata kekecewaan, karena Ibu pertiwi ini tidak romantis, tidak anggun, tidak elok dan tidak keren. Malin Kundang pun malu melihat keadaan Ibunya, maka dia pun tidak mengakui ibunya. Lihatlah diri kita. Pergilah ke depan kaca dan lihatlah ke dalam diri ini. Akuilah betapa kita sudah jauh dari cita-cita ibu pertiwi kita.

Dan kulihat ibu pertiwi tengah bersusah hati. Kulihat air matanya berlinang, emas dan intannya terkenang. Ibu Malin Kundang merintih sedih. Ia mengingatkan anaknya tentang gunung, sawah dan lautan tempatnya bermain waktu kecil. Namun Malin Kundang tetap tak bergeming. Lalu Ibunya mengutuknya menjadi batu. Malin Kundang tak kuasa menolak kutuk itu. Dia pun menjadi batu dalam penyesalan. Dan dia berdiri di sana untuk selama-lamanya. Kita bisa merasakannya, merasakan perihnya kutukan itu di dalam hati kita. Hati yang selalu rindu untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, namun tak lagi bisa. Karena kita telah jatuh cinta pada dunia luar yang luas membentang di sana. Itulah kutukan yang kita terima, putra-putri negeri ini. Kita tak pernah sadar bahwa kita inilah Sang Malin Kundang yang telah berubah menjadi batu.


0 komentar: