Badai mendatangi tempat kami berteduh. Dia datang beserta banyak kilat, guntur dan hujan. Anak-anak kecil kami berlari ke ibu-ibu mereka dan bersembunyi di balik tubuhnya. Mereka ketakutan pada suara yang menderu seperti seribu sayap lebah tersebut. Kami takut pada lebah karena mereka kadang menyakiti kami dan anak-anak kami. Tapi suara itu terasa lebih mematikan dari para lebah. Lebih misterius. Dan kami pun bertanya-tanya, di balik ketakutan kami, apa gerangan misteri di balik mereka; badai, kilat, guntur dan hujan itu. Apakah mereka, yang ada di langit - para dewa – Bal dan Madruk, tengah marah besar. Tapi kenapa?

Setelah badai berlalu, kami melihat ada sesuatu yang memijar di hutan dekat tempat kami berteduh. Kami, secara berkelompok, memberanikan diri untuk mendatangi dan menyelidikinya. Dan kami melihat sesuatu yang belum pernah kami lihat sebelumnya, sesuatu yang terang, panas dan meloncat-loncat. Dia berwarna merah dan kuning. Dia mengeluarkan bau yang khas. Lalu kami menamakannya, ”api.” Dia hidup, ya kami bisa melihatnya, dia hidup karena dia menyantap makanan. Makanannya adalah tanaman dan dahan pohon. Bahkan bila kami memperbolehkannya dia akan memakan pohon-pohon yang lebih besar. Dia memang kuat, namun dia tidak terlalu pandai. Dia akan mati bila makanan habis. Ia tidak mau berjalan bila tidak ada makanan di jarak yang kami kehendaki untuk dituju. Dia tidak dapat berjalan bila tidak ada makanan. Jadi kami pikir, tanaman dan batang pohon adalah kaki-kaki mereka. Tapi bila dia makan dengan jumlah yang besar, dia akan melahirkan anak-anak api yang lain.

Salah satu dari kami memiliki gagasan untuk menangkap api tersebut. Sebuah pemikiran yang mengerikan namun juga membangkitkan gairah. Bagaimana bila kami jadikan dia sahabat kami? Dia kuat dan pasti akan berguna untuk kami. Lalu kami memperhatikan salah satu anak api tengah makan dan berjalan di dahan yang terbuat dari kayu yang keras. Dia menyantapnya dengan sangat lambat. Kami lalu mengangkat dahan-dahan tersebut di bagian ujungnya yang tidak terbakar. Lalu kami meninggalkan tempat itu. Sejenak kami berlari, karena didorong oleh gairah rasa penasaran yang tinggi untuk menunjukan pada saudara-saudara kami yang lain. Tapi, anak-anak api lemah. Jika kami berlari maka dia mati. Lalu kami pun berjalan lambat sambil terus berkata pada anak-anak api tersebut dengan suara yang lembut dan penuh iba, ”Jangan mati, jangan mati...” Kami pun senantiasa memberi dia makanan dari dahan-dahan kayu yang kami temui di jalan pada saat dia hampir menghabiskan seluruh dahan di tangan kami. Sesampainya di tempat kami berteduh, saudara-saudara kami memandanganya dengan mata terbelalak, antara ketakjuban dan kengerian.

Sejak itu kami memeliharanya. Kami tempatkan dia di tempat yang teduh dan jauh dari air. Air adalah musuh api, dia mampu membunuhnya. Kami mempunyai ibu api. Darinya kami memberikan makanan dan dia pun melahirkan anak-anak api yang bisa kami bawa ke tempat-tempat jauh. Kami pun selalu memberi ibu api makanan agar tidak mati kelaparan. Api memang mengagumkan dan juga bermanfaat. Kami yakin bahwa dia adalah hadiah yang diberikan oleh makhluk-makhluk yang sangat berkuasa. Apakah makhluk itu adalah makhluk yang sama yang mengirim kami badai saat mereka marah?


Dan kami pun bersahabat, api dan kami. Di malam yang dingin api menghangatkan kami. Dia membuat kami bisa melihat di dalam kegelapan. Sekarang, pada saat bulan masih baru, kami dapat memperbaiki tombak dan alat berburu kami yang lainnya sebelum kami berangkat berburu keesokan harinya. Dengan penerangan itu, kami pun bisa saling berbicara hingga larut malam. Waktu kami untuk berbicara menjadi lebih panjang. Kami bercerita tentang anak-anak kami dengan rasa bangga sementara mereka tidur dengan wajah lugu di atas payudara ibunya. Api membuat rasa cinta kami pada anak-anak kami semakin besar. Dan hal yang paling bagus adalah api menjauhkan binatang-binatang malam yang ganas. Sebelumnya, kami sering mendapati anak-anak atau istri kami hilang di pagi hari saat sinar matahari terbit. Sekarang keadaannya lain. Sekarang para binatang buas itu menjauh. Kami bisa melihat mereka mengendap-endap mengelilingi dan menatap kami, makan malam mereka, dengan buas. Tapi api balas menatap mereka. Mereka tahu api kami kuat dan mereka takut. Kami dapat melihatnya di mata mereka yang mengkilat. Mereka melolong panjang penuh rasa marah dan putus asa. Ya, mereka takut api. Tapi kami tidak takut. Kami memelihara api dan api memelihara kami.

0 komentar: