Seorang pemuda yang tengah gundah keluar dari rumahnya dan menatap langit malam. Di sana, di atas sana yang gelap, ia menatap apa yang telah ada selama jutaan tahun. Sebuah landskap masa lalu yang terwakili oleh titik-titik kecil yang bersinar, para bintang. Pemuda itu mendongak dan terus memandangi langit malam itu. Dia terdiam selaras dengan kesunyian malam itu. Namun pikirannya diliputi oleh banyak pertanyaan. Sementara hatinya yang semula gelisah berangsur-sangsur mereda dan menjadi jauh lebih nyaman. Di langit ia menemukan ketenangannya.

Malam semakin dingin. Suhu sudah tak lagi bersahabat. Ia tahu ia harus segera masuk atau esok pagi ia akan mendapati dirinya tergolek demam karena flu. Di dalam rumah ia menemukan sebuah pie apel yang dibuat kakaknya siang sebelumnya. Ia menyantap sepotong kecil pie apel tersebut sambil terus mengamati sisa pie apel yang ada di depannya. Untuk membuat pie seperti itu ia membutuhkan terigu, gula, air, sejumlah ini dan itu dan panasnya oven. Ia pun tahu bahwa sesendok air tersusun dari gugusan atom-atom Hidrogen dan Oksigen. Demikian unsur-unsur yang lain, mereka pun terbentuk dari atom-atom yang jauh lebih kecil dan sederhana; Karbon, Natrium, Kalium dan lain sebagainya yang pada akhirnya membentuk molekul yang lebih komplek. ”Lalu dari mana atom-atom ini berasal?” Pikir pemuda tersebut.

Kecuali Hidrogen, semua atom-atom tersebut dibuat di dalam bintang. Bintang bisa dikatakan sebagai sebuah dapur kosmos dimana atom Hidrogen dimasak hingga menjadi atom-atom yang lebih berat. Hidrogen sendiri terbentuk dari Dentuman Besar, sebuah ledakan yang mengawali alam semesta. ”Jadi,” Pikir pemuda itu, ”Kalau seseorang yang dengan kejadian luar biasa – meskipun tidak mungkin – ada sebelum adanya Dentuman Besar dan ia menghendaki sebuah pie apel yang tengah aku makan, artinya ia harus menemukan alam semesta dulu. Betapa sebuah langkah yang begitu besar untuk sebuah hal yang sangat remeh.”

Namun tidak ada yang remeh dalam science. Semua hal bermakna - dari perhitungan maha besar alam semesta dengan bilangan perkalian terhadap sepuluh pangkat ratusan hingga perhitungan fisika quantum yang menghitung materi-materi yang begitu kecilnya hingga melibatkan bilangan sepuluh dengan pangkat minus sekian ratus. Proyek penjelajahan luar angkasa yang menghabiskan milyaran dolar pun pada akhirnya berawal dari tujuan yang sangat sederhana, yaitu sebuah harapan. Harapan akan adanya kebudayaan lain selain di Bumi. Harapan yang timbul akibat keterasingan dan kesepian kita di hamparan alam semesta yang tak terukur batasnya ini. Sebuah harapan untuk mengerti, siapa kita sebenarnya. Bahkan dengan kecepatan yang dimiliki objek terbang penjelajah angkasa milik kita sekarang pun, kita baru akan mendekati bintang terdekat kita setelah berpuluh generasi ke depan. Dan untuk mencapai galaksi terdekat kita membutuhkan waktu yang sangat jauh lebih lama. Demikian lamanya hingga pada saat itu terjadi evolusi telah membawa manusia ke dalam bentuk dan kecerdasan yang berbeda. Atau, dalam skenario terburuk, bumi telah tenggelam dalam lapisan termonuklir matahari yang mengembang saat matahari menghadapi sakaratul mautnya.

Bagaimana mungkin para ilmuwan melakukan kegiatan yang begitu utopis? Karena mereka percaya bahwa tidak ada utopia. Segala sesuatu itu mungkin dan sangat mungkin. Perjalanan Don Colombus pun diawali dengan sebuah mimpi besar yang gila, yaitu untuk menemukan dunia baru. Mereka, para penjelajah samudra, adalah para pemimpi. Dan bermimpi adalah naluriah bagi manusia. Leonardo Da Vinci bermimpi bahwa manusia akan terbang seperti burung, beberapa abad kemudian manusia menemukan teknologi daya dorong dan mengenal sifat-sifat udara. Manusia pun bisa terbang. Dalam bukunya yang dianggap sebagai science fiction pertama di dunia, somnium (Yunani : mimpi), Johannes Kepler bermimpi bahwa manusia dapat melakukan perjalanan wisata ke bulan dan memandangi rumah mereka di bumi yang tergantung di langit malam mereka. Kini kebudayaan manusia membuktikan bahwa mimpi tersebut telah menjadi nyata.

Memang tidak ada yang remeh. Evolusi terjalin dalam sebuah kerumitan tinggi yang sangat teratur dengan kebetulan-kebetulan yang mengagumkan. Andaikata nenek moyang kita dulu bukanlah spesies ikan dengan sepuluh “phalanges” maka matematika dengan basis bilangan desimal (bilangan berbasis sepuluh) adalah hal yang aneh. Geometeri dan trigonometri mungkin akan menjadi sangat berbeda dengan yang kita kenal sekarang. Suatu hal yang remeh di masa lalu adalah suatu yang yang besar di masa sekarang. Semakin jauh kejadian itu terjadi di masa lalu, semakin besar perbedaan yang terjadi. Hal yang remeh sekarang akan membawa perubahan besar di masa yang akan datang. Mungkin generasi kita sekarang tidak akan merasakannya, demikian juga generasi berikut dan berikutnya. Tidak ada manusia yang mempunyai cukup umur untuk bisa menjadi saksi hidup dalam galur evolusi. Tapi umat manusia dapat melakukannya.

Pemuda itu kembali memandangi pie apel yang gosong di pinggirannya. Dia tahu di dalam keraknya yang kering menghitam itu terkandung unsur Karbon yang tinggi. Bila ia kemudian membelahnya secara terus-menerus, pada belahan yang ke sembilan puluh, ia akan menemukan atom karbon. Atom tersebut terdiri dari enam proton dan enam neutron pada intinya. Bila kemudian, dengan metode tertentu, masing-masing dua proton dan dua neutron dilepas dari nukleusnya, maka yang tertinggal bukan lagi atom Karbon namun berupa atom Helium. Maka terjadi sesuatu yang istimewa di sini. Tidak sebagaimana matematika konvensional mengajarkan bahwa satu dibagi dua adalah setengah. Yang terjadi jauh berbeda dengan pengertian itu. Bila sebuah atom dibelah maka yang dihasilkan adalah sesuatu yang sangat berbeda – sebuah atom dengan sifat yang sama sekali lain. Proses fisi atomik tidak menghasilkan setengah atom namun transmutasi ke atom jenis lain.

Di alam ini ada 92 jenis atom yang terbentuk secara kimiawi. Mereka dinamakan berdasarkan jumlah proton di dalam nukleus mereka. Hidrogen memiliki satu proton, Helium memiliki dua hingga Uranium yang memiliki proton berjumlah 92. Mereka bisa berbentuk padatan, beberapa gas dan dua diantara mereka (Bromin dan Air Raksa) berbentuk cairan dalam suhu ruang. Partikel elementer bermuatan penyusun atom – proton, elektron dan neutron – tunduk pada hukum kelistrikan yang sama seperti yang lainnya. Elektron cenderung menolak elektron. Demikian juga dengan proton. Ikatan antar proton justru terjadi atas jasa neutron yang memiliki daya penghasil gaya nuklir jarak-dekat. Dengan gaya ini nukleus tetap saling menyatu. Dua proton dan dua neutron adalah nukleus atom Helium. Tiga inti Helium membentuk satu inti Karbon; empat, Oksigen; Lima, Neon; dan seterusnya. Ada juga atom yang dibentuk secara sisntetis dengan mempermainkan formula partikel elemeter atomiknya. Salah satunya adalah atom dengan komposisi proton 94 yang disebut unsur 94 yang bernama Plutonium. Pada kenyataannya unsur ini sangat beracun dan terurai begitu lambat.

Dari manakah elemen-elemen ini berasal? Alam semesta, seluruhnya, hampir di mana-mana ternyata terdiri dari 99 persen atom Hidrogen dan Helium, dua unsur yang paling sederhana. Helium bahkan telah lama ada di matahari sebelum terdeteksi di Bumi. Pada awalnya bintang-bintang dan planetnya dilahirkan dalam keruntuhan gravitasional awan gas dan debu antarbintang. Tumbukan-tumbukan antar molekulnya di dalam interior awan memanaskannya hingga sampailah pada titik di mana Hidrogen berubah menjadi Helium. Empat inti Hidrogen bergabung menjadi satu inti Helium dengan disertai penyerta foton sinar Gamma. Sang bintang pun mulai menyala, keruntuhan gravitasi pra bintangnya telah berhenti dan panas yang dihasilkan pada inti bintang menahan beban-beban lapisan terluar bintang. Matahari telah dalam fase stabil ini selama lima miliar tahun terakhir. Pada saat ini, pada tiap detiknya, sekitar empat ratus juta gram Hidrogen bergebung menjadi atom Helium dalam reaksi termonuklirnya. Reaksi ini menghasilkan suhu enam juta derajat hingga empat puluh juta derajat pada intinya.

Jauh di dalam inti bintang, fusi nuklir menciptakan unsur-unsur berat. Abu pembakaran Hidrogen inilah yang akan menjadi cikal bakal atomik bagi para planet dan bentuk-bentuk kehidupan masa depan. Bintang-bintang masif segera kehabisan bahan bakarnya dan memasuki orde akhir hayatnya. Dengan sebuah ledakan maha dasyat, bintang tersebut menyemburkan unsur-unsur yang dikandungnya ke ruang antar bintang. Di sinilah awan-awan antar bintang kembali terbentuk. Fase kebangkitan bintang-bintang generasi berikutnya pun dimulai. Matahari termasuk di dalamnya.

Di dalam awan gas tersebut pun mulai terbentuk gumpalan-gumpalan gas yang tidak cukup memiliki bahan bakar untuk melakukan reaksi nuklir sendiri. Inilah proses awal terbentuknya planet-planet. Di antara planet-planet tersebut, terdapatlah sebuah dunia yang sangat biasa dan cenderung remeh. Ia kaya akan kandungan bebatuan dan besi. Dunia ini kemudian kita kenal sebagai Bumi purba.

Bumi purba terus berotasi dan mendapat sinar dari bintang terdekatnya yaitu matahari. Ia menjadi semakin padat dan hangat. Dalam kondisi tersebut, bumi melepaskan kandungannya yaitu gas Metana, Amoniak, air dan Hidrogen yang kemudian ditahan oleh gaya gravitasi dan membentuk atmosfir primitif dan lautan-lautan pertama. Oleh sebuah reaksi kimia dan fisika yang sangat kita kenal kini, bumi menghasilkan petir, badai dan guntur. Gunung-gunung meletus dan menumpahkan lava. Kejadian-kejadian ini merusak molekul-molekul yang ada di dalam atmosfer bumi purba. Molekul-molekut tersebut lalu kembali terbentuk dengan susunan yang lebih rumit dan kemudian terlarut dalam lautan-laitan pertama. Petir adalah sumber tenaga yang labil dan masif. Dia berperan aktif dalam proses pembentukan kehidupan-kehidupan awal. Munculah untuk pertama kali molekul-molekul yang memiliki kemampuan untuk membuat salinan kasar dirinya sendiri. Dia menggunakan molekul-molekul lain di dalam larutan molekul tersebut. Dengan berjalannya waktu dan diawasi oleh mata seleksi alam yang ketat, munculah molekul-molekul yang mampu menduplikasi dirinya dalam tingkat yang lebih rumit. Kombinasi molekulernya pun semakin banyak. Dengan berlahan-lahan, hampir tidak terlihat, kehidupan pun dimulai. Tanaman-tanaman ber sel satu berevolusi dan mampu menghasilkan makanan sendiri. Fotosintesis merubah atmosfer. Seks ditemukan. Bentuk-bentuk yang sebelumnya bebas mulai bergabung menjadi sel-sel yang rumit dan memiliki fungsi-fungsi yang unik. Saat perasa kimiawi berevolusi, kosmos pun mulai bisa mengecap dan membau. Organisme bersel tunggal berubah berevolusi menjadi koloni multiseluler. Mata dan telinga terbentuk hingga kosmos bisa melihat dan mendengar. Lalu mereka mendapati bahwa daratan mampu menyokong kehidupan dan mereka pun bermigrasi besar-besaran. Daratan bumi purba dipenuhi oleh organsime-organisme mendengung, merayap, berjalan, melayang, memanjang dan mengkerut dan membumbung tinggi. Mengalir di dalam sistem tubuh beberapa organisme tersebut, cairan-cairan yang sangat mirip dengan cairan di lautan purba. Mereka bertahan dengan kecerdikan dan kecepatan mereka.

Dan beberapa waktu yang lalu, belum terlalu jauh dari kini, beberapa binatang kecil turun dari pepohonan habitat mereka. Mereka lalu berdiri tegak dan berjalan dengan sistem bipedal, dua kaki. Merupakan suatu yang mengagumkan saat mereka juga belajar sendiri untuk menggunakan dan menciptakan peralatan, menjinakan hewan-hewan lain, tanaman dan api dan kemudian membuat bahasa. Debu-debu alkemia yang bersatu di dalam dirinya memasuki fase kesadaran. Dengan laju yang lebih dipercepat, mereka menemukan tulisan, kota-kota, seni dan ilmu pengetahuan. Mereka lalu mengirimkan kapal-kapal ke angkasa dan menjelajahi planet-planet dan menemukan bintang-bintang. Inilah homo sapien, species animalia tertinggi yang dihasilkan dari gumpalan atom Hidrogen alam semesta. Kita menyebutnya dengan panggilan yang lebih akrab yaitu manusia.

Bintang adalah nenek moyang kita.

Reaksi nuklir perbintangan menghasilkan unsur-unsur yang ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Semua unsur di Bumi, kecuali Hidrogen dan sejumlah Helium, pernah dimasak di dalam sebuah bintang oleh sejenis alkemia bintang miliaran tahun yang lalu. Sebagian dari mereka mungkin telah hilang dalam ledakan Nova atau Supernova, atau mungkin sebagian yang lain masih tertinggal sebagai bintang kerdil di sisi lain Bima Sakti. Dan unsur-unsur itulah yang membentuk kita dan segala di planet Bumi. Nitrogen di dalam DNA kita, Karbon di kerak pie apel, besi dalam darah kita dan kalsium di sistem tulang dan gigi kita adalah materi-materi yang berasal dari bintang-bintang.

Kini pemuda itu menjadi lebih mengerti, mengapa dia begitu damai saat memandang lautan bintang di angkasa raya yang sepi. Tiba-tiba ia mendapati bahwa dirinya adalah seorang pengembara lautan kosmik. Dan sebagaimana seorang pengembara yang selalu merindukan kampung halamannya, ia pun rindu ingin kembali. Maka pada malam hari, pada saat kegelisahan akan kerinduan yang begitu purba menguasai hatinya, ia selalu pergi keluar dan menengok ke atas. Dia terdiam selaras dengan kesunyian malam itu. Namun pikirannya diliputi oleh banyak pertanyaan yang belum terselesaikan. Sementara hatinya yang semula gelisah berangsur-sangsur mereda dan menjadi jauh lebih nyaman. Di langit ia menemukan ketenangannya karena di langit itulah ia berasal. Di sanalah rumahnya, dimana ia akan kembali pada suatu saat nanti.

0 komentar: