Aku bermimpi, aku melihatmu. Di puncak tertinggi sebuah menara kita berada, bersembunyi dan mungkin sedikit bercinta. Kita tak mendengar apapun kecuali deru angin. Kita tak melihat apapun kecuali awan. Sebuah keterasingan yang purba, dingin dan sunyi.

Dan aku melihatmu, berbaring di sisiku. Aksara cahaya matahari sore menggaris di setiap lekuk tubuhmu yang tak berbaju itu. Kau terdiam seperti aku yang juga terdiam. Bukan suara deru angin awang-awang yang terdengar, tapi jauh ke dalam diri kita, kita mendengar detak jantung masing-masing. Detak yang semakin cepat juga semakin keras, ketakutan yang merasuk hingga sumsum tulang kita.


Lirih aku bertanya, “Bila telah ada 100 bahaya maka telah kurasakan 100 rasa takut. Apa lagi yang kutakutkan kini?”

Sekilas terdengar kau menghela nafas, berat. Aku tahu apa yang ada di dalam pikiranmu. Nun jauh di sana, di ujung batas negeri, barigade pasukan yang berbaris seperti sebuah defile merengsek masuk. Suara derap kaki mereka lah yang menggetarkan jantungku. Mereka datang bukan untuk air dan tanah. Mereka datang dengan racun dan dendam untuk sebuah harga diri buta; sebuah tahta yang terusik.

Ya, dalam mimpiku itu kurasakan angin yang masuk melalui jendela membawa berita duka. Suara tangis mereka yang seperti koor membuat suasana semakin muram. Mereka terus menangisi kami hingga tak tersisa waktu untuk bercerita. Seperti anak perawan yang kehilangan jejaka, mereka bersimpuh. Air mata mereka yang seperti nira hitam membuatku kembali bertanya, ”apa sebenarnya yang kutakutkan?”

”Tak ada yang perlu kau takutkan,” bisikmu di telingaku. Suaramu setengah merintih bercampur dengan mantera. Kulihat kau menidurkanku. Kau menutup kelopak mataku dan meniupkan mimpi-mimpi ke dalamnya. Dan kau tutup juga telingaku, karena kau tak ingin aku tahu sesuatu yang kau tahu; mereka tengah mendekat. Mereka datang untuk membawamu pergi.

Sejenak kau menatap wajahku dengan tatapan penuh keharuan dan kerinduan. Dengan langkah berat kau beranjak meninggalkanku. Para perawan angin sontak menjerit menahanmu pergi. Kau menempelkan jari telunjuk di bibirmu. Jari itu bergetar dirajam emosi. Mereka, para perawan angin itu, mendongak ke atas dengan suara bergetar-menghujat para dewa. Tapi, bahkan para dewa pun tak kuasa menahan tekadmu. Kau yang hanya manusia dan diciptakan tidak abadi akhirnya melakukan sesuatu yang mereka, para kaum abadi, tak mampu lakukan. Sesuatu yang tidak cukup kuat dibanding kuasa langit namun jauh lebih mendasar. Sebuah kekuatan yang ada di dasar hati seseorang yang tengah jatuh cinta - sebuah pengorbanan.

Di atas jendela itu kau berdiri. Wajahmu sayu dan sinar kehidupan di matamu lemah meredup. Sementara di kaki menara, ribuan pasukan berkuda bergerak seperti air bah, menggerus semua yang ada. Pilar-pilar menara tergetar oleh derap ladam kuda mereka. Sejenak kau termenung, menikmati setiap detik terakhir kebersamaan kita. Dan kau berharap semua itu tidak terjadi...

Aku terbangun saat hatiku mendengar hatimu merintih lirih setelah lelah memberontak. Kau yang telah meniupkan mimpi dalam tidurku dan menutup telingaku ternyata tak mampu menutup hatiku. Maka saat hatimu menangis, bahkan dalam keadaan paruh delusi pun, hatiku menyadarinya. Dan kudapati kau di atas jendela. Ada sejenak waktu kau menoleh padaku. Matamu berkata, ’... ... ’

Lalu kau menjatuhkan diri.

Aku berteriak, namun apalah suara membawamu kembali. Tubuhmu melayang seperti burung alap-alap sebelum akhirnya terbenam dalam lautan pasukan berkuda itu. Mereka yang didera haus berkepanjangan segera menangkapmu.

Mereka membawamu pergi jauh. Jauh dari semua yang telah kita bangun dengan tangan-tangan kasar kita. Jauh dari mimpi dan semua cita-cita kosong menjelang tidur; tentang dunia yang berbatas rumah para pertapa, tentang gurun Najaf dan tragedi Karbala dan tentang dunia di mana tak ada para pencuri. Mereka membawamu dan kutahu, sebagaimana kau tahu, kita tak akan pernah bertemu lagi. Kelak pada suatu saat kita akan saling mengingat namun tak lebih sebagai sebuah kenangan. Kau tak akan pernah kembali. Dunia seakan berhenti berputar dan angin pun enggan untuk bertiup. Pada saat itu waktu pun berhenti untuk berduka.

Kini kutahu apa yang ada di matamu. Sebuah kalimat yang tak kuasa kau ucapkan. Sebuah kalimat yang kau sembunyikan dalam matra-mantramu. Sebuah kalimat yang menjawab ketakutanku. Di atas menara yang sunyi sendiri itu akhirnya kusadari bahwa apa yang kutakutkan adalah “sebuah selamat tinggal yang kekal.”

Dan pagi itu aku terbangun dengan nafas seperti dipacu kusir gila. Haus mencekik tenggorokanku dan memaksaku untuk bangun saat kusadari sakit yang begitu kuat meninju kepalaku. Kudapati aku masih di kamar yang sama. Ya, kamar yang sama. Aku bisa mengenalinya dari aroma pengap menyengat yang berasal dari gantungan baju yang telah beberapa minggu tak kucuci. Sinar matahari pagi merayap mukaku dan menyadarkan bahwa dunia belum berakhir. Itu adalah hari yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Lalu kurasakan hawa dingin meniup lembut wajahku. Ah, aku tahu siapa dia. Perawan angin dari jaman purba itu kembali datang. Dengan mata bengkak setelah lelah menangis ia tidur dan memelukku dari belakang. Pelukan itu dingin dan dipenuhi rasa kesunyian. Pelukan yang telah lama kumiliki. Kututup mata ini, sekedar untuk bersembunyi dari dunia luar dan kusadari kemudian bahwa tak ada yang berubah . Tidak ada, kecuali satu; pada hari itu kusadari kau bukan milikku lagi...


0 komentar: